Senin, 02 Maret 2015

Fenomena Air Ballast di Perairan : Berbahayakah....?

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tahun 2012 terjadi peristiwa HAB (Harmfull Alga Bloom) di perairan Teluk Lampung. Namun yang menjadi menarik dari peristiwa HAB yang memang sering terjadi di perairan ini adalah dijumpainya jenis fitoplankton Cochlodinium polykrikoides sebagai jenis fitoplankton yang mendominasi dan menyebabkan kematian massal ikan-ikan di karamba. Lalu apa yang menarik dari itu semua?. Jenis fitoplankton ini sendiri sering dijumpai blooming di wilayah perairan Korea, Jepang dan Cina. Lalu bagaimana fitoplankton jenis ini bisa sampai ke Teluk Lampung....?.

Cochlodinium polykrikoides

Kemunculan suatu spesies yang awalnya tidak pernah ditemukan secara alami di suatu daerah dan menempuh jarak ratusan hingga ribuan kilometer jauhnya dari tempat hidup alaminya dalam ilmu ekologi disebut Jump Dispersal. Namun pada akhirnya keberadaan spesies-spesies itu secara luas malah mempengaruhi habitat yang mereka invasi dan memenimbulkan masalah ekologi yang cukup serius. Selain di Teluk Lampung ternyata para ilmuwan sudah mengetahui tanda-tanda pengenalan spesies asing setelah terjadinya massa fitoplankton ganggang Asian Odontella (Biddulphia sinensis) di Laut Utara pada tahun 1903. Lalu kasus kemunculan ubur-ubur sisir (comb jellyfish) di Danau Laut Kaspia yang memakan larva ikan Kilka, ikan yang menjadi sumber mata pencaharian nelayan setempat. Kemudian serbuan kerang emas (golden mussel) yang menyebara dan berkembang biak dengan kecepatan laju penyebarannya mencapai 240 km/tahun dan menghancurkan perikanan air tawar, merusak sistem pengolahan air, mengancam ketahanan bendungan dan merusak sistem pembangkit listrik. Pertanyaa selanjutnya adalah dari mana sebenarnya permasalahan Jumps dispersal itu berasal ?. Jawabannya adalah dari kapal. Seperti yang kita ketahui dalam kapal terdapat sistem penyeimbang yang disebut ballast. Saat kapal memuat atau membongkar muatan kapal harus dilengkapi dengan sistem penyeimbang yang membuat kapal tersebut tidak tenggelam atau timbul terlalu tinggi. Pada jaman dahulu ballast kapal ini diisi dengan pasir ataupun batu, tapi sekarang digunakan air sebagai penyeimbang kapal.


Pertama kali baja diperkenalkan sebagai lambung kapal sekitar 120 tahun yang lalu, air laut telah digunakan sebagi pemberat (ballast) untuk menjaga stabilitas, keseimbangan dan integritas struktral kapal, dan mengefektifkan energi populasi di dalam air, menggantikan pemberap pada seperti batu dan pasir. Air ballast tersebut dipompakan dari laut kedalam tangki khusus untuk ballast guna mempertahankan kondisi operasi yang aman sepanjang perjalanan. Biasanya terdiri dari tiga tangki minyak, yang pertama berisi ballast dan tidak pernah dipergunakan untuk muatan; kedua ballast bersih yaitu air ballast yang terdapat didalam tangki yang sudah dicuci, dan ketiga ballast kotor yaitu air ballast yang terdapat didalam tangki yang bekas dipergunakan untuk memuat minyak. Sementara air ballast menjadi sangat penting untuk operasi yang aman dan efisien pada kapal-kapal modern, namun ternyata muncul masalah yang cukup serius seperti masalah ekologi akibat dari banyaknya spesies laut yang ikut dalam air ballast kapal tersebut. Diperkirakan terdapat lebih dari 4.500 jenis spesies seperti bakteri, mikroba, invertebrata kecil, telur, kista, dan larva dari berbagai spesies, serta bentuk planktonik hewan-hewan yang berukuran lebih besar. Hewan yang berukuran kecil ini umumnya mati selama perjalanan akibat proses ballast dan deballasting yang dilakukan serta lingkungan dalam tangki ballast yang tidak bersahabat. Spesies yang tetap bertahan dan berhasil lolos pada saat pembuangan air ke laut pun sama-sama menghadapi tantangan berupa predator dan lawan dari spesies asal. Didukung siklus produksi yang sangat singkat, banyaknya nutrient dan sedikitnya pesaing, spesies-spesies yang berhasil lolos dari semua kondisi diatas akan mereproduksi dirinya di tempat baru dalam jumlah yang sangat besar dan bersifat invasif. Tanpa upaya pengendalian keberadaan spesies-spesies invasif ini dapat mengancam kekayaan perairan, termasuk memusnahkan spesies daerah asal. Karena biasanya ikan invasif ini bersifat predator (karnivora), bereproduksi cepat dan kuat. Pada akhirnya penyebaran spesies invasif ini diakui sebai salah satu ancaman terbesar bai ekologi dan kekayaan alam laut yang sangat berharga. Keberadaan spesies-spesies tersebut dapat membahayakan kehidupan lingkungan laut, merubah keseimbangan ekosistem dan mengganggu keseinambungan pemanfaatan sumber daya pantai, merubah jenis spesies asal dan membentuk spesies baru yang termutasi secara genetis. Beberapa spesies tersebut bahkan mengandung racun yang jika diserap oleh hewan lain seperti kerang dan apabila dimakan oleh manusia bisa menyebabkan kematian. Masalah spesies invasif yang berasal dari air ballast kapal ini sebagian besar disebabkan oleh semakin luasnya perdagangan dan volume lalu lintas selama beberapa dekade terakhir dan karena volume perdagangan melalui kapal laut yang terus meningkat. Akibatnya banyak perairan di dunia mengalami kerusakan dan kehancuran lingkungan laut. Data kuantitatif menunjukkan tingkat bio-invasi terus meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan dan merambah ke daerah lain.

Dampak yang ditimbulkan tidak hanya pada ekologis, tetapi sudah merambah juga pada kesehatan dan ekonomi global. Bayangkan, Ameriak Serikat saja samapai harus menghabiskan biaya 5 juta USD untuk mengendalikan pertumbuhan Dreissena polymorpha, hewan kecil berlorek seperti zebra yang berasal dari perairan Eropa, yang telah menginvasi lebih dari 40% perairannya. Bahkan akibat kerusakan dan kehancuran lingkungan laut, nelayan banyak mendapatkan kerugian yang sangat besar. Kerugian tersebut belum termasuk kerugian jangka panjang apabila sumberdaya alam dan lingkungan perairan tidak ditangani secara cepat, tepat dan benar. Berakibat terhadap perekonomian masyarakat yang lebih besar dan relatif sulit dicarikan alternatif pemecahan permasalahan yang ada.



Invasi Dreissena polymorpha

Dampak lainnya adalah kesehatan manusia. Ledakan pertumbuhan fitoplankton (blooming) menjadi akar dari semua permasalahan. Seperti diketahui fitoplankton adalah produsen dan berperan sebagai tropik level pertama dalam rantai makanan. Kemudian fitoplankton dimakan zooplankton, sedangkan konsentrasi polutan dalam tubuh zooplankton sendiri lebih tinggi dibanding dalam tubuh fitoplankton karena zooplankton memangsa fitoplankton sebanyak-banyaknya. Selanjutnya fitoplankotn dan zooplankton dimakan oleh ikan-ikan planktivores (pemakan plankton) sebagai tropik level kedua. Ikan planktivores dimangsa oleh ikan karnivores (pemakan ikan atau hewan) sebagai tropik level ketiga, dan terakhir ikan predator sebagai tropik level tertinggi memangsa ikan karnivores. Ikan predator dan ikan yang berumur panjang mengandung konsentrasi polutan dalam tubuhnya yang paling tinggi diantara seluruh organisme laut. Termasuk kerang, yang mengandung logam berat yang tinggi karena cara makannya dengan menyaring air masuk ke dalam insangnya setiap saat dimana fitoplankton akhirnya ikut tertelan. Polutan ikut masuk ke dalam tubuhnya dan terakumulasi terus menerus dan bahkan bisa melebihi konsentrasi di air. Polutan tersebut mengikuti rantai makanan mulai dari fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya sampai ke manusia. Bila polutan ini berada dalam jaringan tubuh organisme laut tersebut dalam konsentrasi yang tinggi, kemudian dijadkan sebagai bahan makanan maka akan berbahaya bagi kesehatan manusia. Makanan yang berasal dari daerah tercemar kemungkinan besar juga tercemar. Salah satu polutan yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia adalah logam berat.

Melihat permasalahan air ballast dan dampaknya yang sedemikian besar pada perairan maka kondisi seperti disebutkan diatas sebenarnya sudah termasuk kategori pencemara laut. Karena menurut Peraturan Pemerintan No. 19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut yang dimaksud dengan pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hdup, zat energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. 

Dampak pencemaran di laut ini memang berdampak sangat luas. Untuk membantu negara-negara dalam mengurangi dampak yang timbul dari perpindahan spesies-spesies asing melalui air ballast maa International Maritime Organisation (IMO) menjalankan sebuah proyek yang dinamai The Global Ballast Water Management Programme (GloBallast). Proyek ini dibangun dengan pemikiran bahwa dampak dari perkembangan spesies asing di laut justru lebih sulit ditanggulangi dibanding dampak dari pencemran akibat tumpahan minyak. Hal ini telah menjadi masah global sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari seluruh komunitas maritim dunia. Kemudian dikeluarkan juga peraturan tentang manajemen air ballast, yang dimaksudkan untuk mengurangi penyebaran organismeatau spesies-spesies yang tidak terkendali lagi. Berikut adalah standar manajemen ar ballast disesuaikan dengan ukuran kapal dan tahun pembuatan, berdasarkan standar manajemen air ballast regulasi D-1, ketika proses pengisian atau pengososngan ballast, sistem kapal harus mampu megisi atau mengosongkna sedikitnya 95% dari total kapasitas tangki ballast, untuk kapal yang menggunakan metode pumping-through, kemampuan pompa harus dapat memompa terus menerus selama pengisian tiga kali volume tangki ballast. Lalu berdasarkan standar manajemen air ballast regulasi D-2, kapal dengan sistem manajemen air ballast tidak boleh mengeluarkan lebih dari 10 organisme hidup tiap meter kubik atau setara dengan ukuran lebih dari 50 mikrometer dan tidak boleh mengeluarkan lebih dari 10 organisme hidup tiap milimeter untuk ukuran kurang dari 50 mikrometer, dimana indicator discharge mikroorganisme tidak boleh melebihi konsentrasi yang ditentkan sebagai berikut : Toxicogenic vibrio chlorella kurang dari 1 cfu (colony forming unit) tiap 100 milimeter atau kurang dari 1 cfu per gram zooplankton; Eschericia coli kurang dari 250 cfu per 100 milimeter; Intestinal enterococci kurang dari 100 cfu per 100 milimeter. Sistem manajemen air ballast ini harus disetujui oleh pihak-pihak sesuai dengan regulasi IMO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar